FENOMENA PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN PADANG PARIAMAN.

Oleh : Andri Satria Masri, SE. M.Si. *)

0 124

TINTA RAKYAT -Ada hal yang menarik terjadi pada angka Pertumbuhan Ekonomi (PE) Kabupaten Padang Pariaman tahun 2020 lalu. Pada saat PE seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat rata-rata minus satu (1) digit, Padang Pariaman “rekor” pada angka minus dua (2) digit atau -10,46.

Fenomena menarik ini, menjadi sorotan oleh Dr. Sri Maryati, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Saat menjadi narasumber pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2021-2026 di Hall Ibu Kota Kabupaten (IKK) Padang Pariaman, pada 8 Juni 2021 lalu.

Dr. Sri Maryati menjelaskan, bahwa fenomena itu bukanlah sebuah anomali. Karena faktor penyebabnya jelas, yaitu kontribusi negatif dari pertumbuhan sektor transportasi. Dalam hal ini, transaksi ekonomi yang terjadi di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Kepala BPS Padang Pariaman mencoba menenggarai fenomena tersebut, dengan mengatakan bahwa betul disebabkan kontribusi sektor transportasi terutama BIM. “Jika dikeluarkan sektor transportasi maka PE Padang Pariaman hanya minus 1,02%,” katanya di depan forum Musrenbang.

Dr. Sri Maryati bisa menerima argumen tersebut, namun dia mengatakan. Bahwa data yang dia pakai, berasal dari web resmi BPS Padang Pariaman sendiri. “Karena data itu yang ditampilkan, maka itu data yang resmi pak,” kilah Dr. Sri Maryati.

Mencermati fenomena ini, penulis berpendapat. Jika memang PE Padang Pariaman juga berada di angka minus 1 digit, setelah dikeluarkan kontribusi sektor transportasi. Maka seharusnya, tahun-tahun sebelum terjadinya pandemi Covid-19 saat PE Padang Pariaman berkibar di angka 5% ke atas, kontribusi sektor transportasi juga tidak diikutkan dalam penghitungan PE. Jika tidak diikutkan, bisa jadi PE Padang Pariaman di bawah angka 2 atau 1%.

Sekarang coba kita lihat pengaruh angka PE ini terhadap perekonomian, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Adakah pengaruhnya atau tidak, terutama di masa pandemi ini? Sehingga angka tersebut bisa dijadikan indikator untuk merencanakan pembangunan di Kabupaten Padang Pariaman 5 (lima) tahun ke depan.

Seperti diketahui, bahwa PE itu adalah peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitatif change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan output perkapita (Sri Eka Astutiningsih).

Tingkat PE menunjukkan persentase kenaikan pendapatan Nasional riil pada suatu tahun tertentu, dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Semakin tinggi tingkat PE, maka semakin cepat proses pertambahan output wilayah. Sehingga prospek perkembangan wilayah semakin baik.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah, dapat diukur dengan cara membandingkan PDB/PDRB-nya. Untuk ukuran Nasional, Produk Domestik Bruto (PDB) tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya. Untuk regional, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya.

Dengan diketahuinya sumber-sumber PE, maka dapat ditentukan sektor Prioritas Pembangunan. Terdapat tiga faktor atau komponen utama yang mempengaruhi PE, yaitu akumulasi modal (capital accumulation), pertumbuhan penduduk (growth in population), dan kemajuan teknologi (technological progress). (Lutfi Muta’ali).

Terdapat juga beberapa faktor lain yang mempengaruhi PE, di antaranya adalah sumber daya alam, budaya, inflasi dan tingkat suku bunga.

Jika tingkat PE ditentukan oleh faktor akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, sumber daya alam, budaya, inflasi dan tingkat bunga. Maka apakah ke tujuh faktor tersebut mengalami kontraksi selama pandemi ini, yang kemudian mempengaruhi angka PE menjadi minus 10?

Kemudian, apakah dengan angka minus 10 tersebut menyebabkan ke tujuh faktor tersebut terganggu sehingga menimbulkan gejolak pada harga barang dan jasa, angka inflasi, kualitas kehidupan masyarakat (IPM), tingkat pengangguran? Jika terjadi, maka benarlah adanya angka minus 10 itu terjadi di Padang Pariaman. Jika tidak terjadi, maka itulah yang disebut anomali dalam perekonomian.

Seharusnya, jika PE menurun maka pengangguran meningkat, IPM menurun, Gini Ratio melebar, inflasi meningkat, harga barang dan jasa meningkat. Dari data yang ada, yang terjadi malah kebalikannya. Angka kemiskinan menurun 7,10% pada tahun 2019 menjadi 6,95% di tahun 2020. Indeks Keparahan Kemiskinan dan Indeks Kedalaman Kemiskinan juga menurun dibanding tahun 2019. Gini Ratio menurun dari 0,29 menjadi 0,257. Namun angka pengangguran meningkat dari 5,97% menjadi 8,13% di tahun 2020.

Terakhir, ada hal yang perlu dicermati terkait angka PE ini. Jika PE Padang Pariaman tahun 2020 adalah -10,46% karena pengaruh pandemi Covid-19, tahun 2019 angka PE sudah menurun dari 5,44 di tahun 2018 menjadi 2,40. Ini artinya, saat belum terjadi pandemi, PE Padang Pariaman sudah mengalami penurunan.

Menurut Dr. Sri Maryati, hal ini disebabkan selain pengaruh ekonomi global juga karena Padang Pariaman terlalu mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage).

Untuk itu, Dr. Sri Maryati menyarankan pada tiga (3) kata kunci dalam merencanakan pembangunan di Kabupaten Padang Pariaman yaitu: Struktur Perekonomian yang Kokoh, Keunggulan Kompetitif Wilayah (Comparative Advantage) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Berkualitas. (AS)

*) Pemerhati Sosial Ekonomi dan ASN Pemkab. Padang Pariaman.

Ads

IMG-20230107-WA0016
20221218_171931
IMG-20221218-WA0002
20240106_175354
IMG-20230107-WA0016 20221218_171931 IMG-20221218-WA0002 20240106_175354

Tinggalkan pesanan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Do NOT follow this link or you will be banned from the site!